Friday 2 September 2016

BADAI BULAN SEPTEMBER

Semalam badai datang begitu dahsyatnya, menumbangkan pepohonan yang dilintasinya tak terkecuali. Pohon mangga, jambu, serumpun pohon pisang, pohon mahoni, rambutan dan durian yang berada di sekeliling tempat tinggalku. Aku menyaksikan semua itu tanpa ada rasa apapun. Bahkan benakku menunggu dan menghitung semua kehancuran setelah badai usai.Tiba-tiba kudengar orang-orang berteriak-teriak. Rupanya atap-atap rumah mereka tidak dibuat dari bahan yang layak telah ikut terbang bersama badai. Kepanikan dan keputusasaan tergambar jelas di wajah mereka.

Aku diam. Berpikir. Jika aku seperti mereka, apakah aku juga akan berteriak-teriak seperti mereka? Dan andaikan mereka seperti aku, apakah mereka juga akan bersikap seperti diriku, diam menyaksikan badai yang menghancurkan segalanya di teras rumah, sambil menikmati dingin yang menusuk serta percikan-percikan air hujan yang membasahi tubuh?


Aku menghela nafas. Sepertinya aku tak punya hati untuk berempati kepada orang lain, atau tak punya moral untuk mengulurkan tanganku membantu mereka. Hey... Kau hanya kehilangan atap rumahmu! Dan kau dapat memperbaikinya besok. Dan aku? Aku kehilangan hati untuk singgah. Kehilangan sebuah nilai dari diriku sendiri. Tak seorangpun tahu. Aku hanya seperti sebuah gelas-gelas kristal, yang kucoba untuk susun ulang menjadi gelas yang utuh seperti sediakala. Simsalabim avakadabra!!! Gelas kembali utuh. Tapi siapa yang tahu, bahwa goresan-goresan pada gelas bukanlah cutting dari sebuah crystal, tapi luka-luka yang disembunyikan agar tampak cantik saja, tapi rapuh.

Jadi, maafkanlah aku! Maafkan diamku! Aku sedang terluka! Aku tak sanggup menolong diriku sendiri, menolongnya, apalagi menolong mereka.

Andaikan kau tak berkeras hati untuk tak pergi meninggalkan dia, atau setidaknya katakanlah sesuatu yang indah dan berikan sedikit kecupan dengan pelukan hangat, sehingga dia tak merasa sebegitu hinanya lahir di dunia.

Andaikan kau tak menjadikan dia sebuah experimen atas perasaanmu kepada orang lain yang ada di masa lalumu, ini juga pasti tak akan terjadi. Tak akan ada air mata yang jatuh tak berarti ikut terbang bersama badai.

Andaikan kau tak menyanyikan nada-nada cinta yang manis, dan menggodanya dengan sentuhan-sentuhan nakalmu, tentu tak akan pernah dia menyimpan rapat namamu dalam hatinya, yang kemudian meninggalkan kepedihan.

Aku tahu, tak ada sesuatu yang abadi di bumi ini. Tapi bukan cara seperti ini! Tak perlu meninggalkan goresan-goresan luka di hatinya. Kau dengar tawanya? Kau lihat semangatnya? Benar! Tapi ia hanyalah sebuah gelas kristal yang rapuh, yang sedang berjuang dengan segala dayanya melampaui titik nadzir.

Lalu kenapa kau masih dapat mendengar tawanya? Karena cinta. Cinta adalah kekuatan yang maha dahsyat melebihi nuklir, yang bahkan negeri adikuasa pemilik nuklir terbesar di duniapun ketakutan pada nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara sedikit saja. Karena Tuhan - Sang Maha Cinta, telah menciptakan aku, kamu dan dia dengan rahman dan rahimnya. Tapi sudahlah... Kau tak mengerti itu... Kau tak tahu apa itu cinta seperti kau tak tahu apa dan siapa itu Tuhan. Kau hanya mengerti apa yang kasat mata. Kau hanya tahu keindahan yang dapat kau telanjangi dengan mata jasadmu. Kau juga tak tahu, kalau dia sekarang hanya merasa sebutir debu yang menempel pada jemarimu yang kau gunakan untuk menekan cord-cord nada yang menyanyikan lagu cinta yang tak juga kau pahami. Tragis.

Badai menerbangkan segalanya malam ini.  Kuberharap badai dapat menghapusmu dari perasaan cinta yang menghancurkannya. Air hujan memburamkan jendela kaca kamarnya dan menyamarkan bayangnya. Bibirku memanjatkan doa, "Semoga kau bisa melewatkan badai malam ini, dan esok pagi kuharap dengan suka cita kau sambut matahari yang mengajakmu berlari mengejar mimpi."


Jakarta, 2 September 2016
By: Enny Achmad

No comments:

Post a Comment